FIB: POROS KEBERAGAMAN FESYEN MAHASISWA UI

Makara in Style
4 min readNov 2, 2022

--

Mahasiswa Sastra Inggris FIB UI menggunakan beragam pakaian berfoto bersama di pelataran FIB UI Selasa (1/11)

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, atau biasa disebut sebagai FIB UI, sering mendapatkan prejudice atas cara berpakaian mereka yang dianggap terlalu liberal. Bahkan, seringkali FIB menjadi buah bibir yang hangat dibicarakan bagi mahasiswa lain karena dinilai terlalu nyentrik. Tidak jarang kata nyentrik disebutkan ketika mahasiswa lain mendeskripsikan mahasiswa fakultas ini.

Sifat liberal dalam kultur berpakaian di FIB kemudian menciptakan keberagaman, di mana keberagaman ini dapat terlihat dari fakta yang menyatakan bahwa ternyata kebebasan ini menjadikan FIB sebagai wadah bagi mahasiswanya untuk lebih menjadi dirinya sendiri. Mahasiswa bebas untuk datang dengan pakaian extravagant layaknya sedang berada di front row Paris Fashion Week atau pun dengan pakaian minimalis kasual dengan kaus dan celana pendek. Pakaian tidak akan menjadi masalah ketika ingin menempuh pendidikan di FIB UI.

Namun sebenarnya, apa yang melatarbelakangi mahasiswa datang berpakaian seperti ini? Apa dampak yang diciptakan dari kultur berpakaian yang telah melekat ini? Apakah hal ini dapat dipandang sebagai sebuah masalah? Mengapa kultur ini bisa menjadi identitas komunal bagi FIB?

Tidak dapat dipungkiri bahwa rasa nyaman adalah tolak ukur utama seseorang dalam berpakaian. Rasa nyaman sendiri merupakan perasaan yang sifatnya tentatif, di mana setiap orang memiliki tolak ukur kenyamanan yang berbeda. Sebagai contoh, sebagian orang lebih nyaman menggunakan celana panjang ketat dan sebagian lainnya lebih nyaman menggunakan celana pendek. Faktanya, Reiner — seorang mahasiswa FIB UI — mengatakan bahwa dibandingkan ingin terlihat nyentrik, sebenarnya ia hanya ingin berpakaian dengan nyaman. Inilah yang menyebabkannya bisa saja hanya menggunakan kaus dan jeans di satu hari, tetapi pada hari lainnya ia mengenakan kemeja dan sepatu kulit. Prinsipnya hanyalah “yang penting nyaman”.

Kenyamanan ini juga memang didukung oleh dosen-dosen di FIB sendiri yang cenderung tidak menegur mahasiswanya apabila hanya berkaus saat di dalam kelas. Di satu sisi, mereka tidak menekan mahasiswanya untuk berpakaian formal karena lagi-lagi menurut dosen pun kenyamanan haruslah yang diutamakan. Di sisi lain, salah satu dosen FIB, Monsieur Jiro, menyatakan bahwa ia tidak mempermasalahkan hal ini karena menurutnya juga tidak ada kewajiban baginya untuk membangun identitas lulusan yang berpakaian formal dalam FIB UI. Selama mahasiswa tersebut melaksanakan tugasnya sebagai seorang mahasiswa, dosen di FIB tidak akan mempermasalahkan.

Tentu hal ini juga tidak bisa dipukul rata. Ada beberapa prinsip kecil yang para dosen tetap pegang teguh. Contohnya, di prodi Sastra Prancis, mahasiswa bebas untuk mengenakan apapun kecuali sandal. Berbeda dengan prodi Ilmu Filsafat, dosen di prodi ini membebaskan mahasiswanya berpenampilan se-nyentrik apa pun. Bagaimanapun, masih ada beberapa batasan yang ditetapkan untuk mencapai keadaan kenyamanan bersama.

Kata nyentrik sendiri sebenarnya relatif. Untuk disebut sebagai pakaian ‘tidak wajar’, harus dilakukan perbandingan dengan kriteria pakaian yang ‘wajar’. Kata nyentrik ini sendiri juga sebenarnya muncul sebagai output dari kebebasan yang tidak dimiliki oleh fakultas lain. Sebagai contoh, seorang mahasiswi FIB dengan crop top akan terlihat nyentrik di tengah-tengah kerumunan mahasiswi Fakultas Teknik yang dominan menggunakan kemeja.

Namun, alih-alih merasa termarjinalkan, Tito, mahasiswa Sastra Inggris UI, mengatakan bahwa menjadi perhatian bukanlah hal yang memberatkan baginya. Justru, ia menikmati identitasnya sebagai iconic. Hal ini mengindikasikan bahwa memang kultur yang terbangun sudah tertanam cukup fundamental dalam pikiran mental para mahasiswa.

Berkaitan dengan iconic, kebebasan berpakaian juga merupakan wadah bagi mahasiswa untuk menunjukan identitas yang ia mau. Pada dasarnya, manusia dapat memilih identitas mana yang ingin ia tunjukkan dan ia sembunyikan. Salah satu mahasiswa FIB UI, Adon, mengatakan hal ini memang ia rasakan dan ia pun mendapat dampak positifnya, di mana ia menjadi lebih merasa percara diri dengan identitas yang ia bangun dengan caranya berpenampilan.

Keberagaman identitas ini kemudian menjadi satu identitas komunal dari FIB UI itu sendiri, yaitu beragam. Hal ini sempat kembali disinggung oleh Monsieur Jiro, yang mana ia tidak mempermasalahkan sama sekali jika memang kenyataannya kultur berpakaian di FIB UI telah menjadi identitas bersama bagi warganya.

Meskipun telah menjadi identitas bersama bahwa mahasiswa FIB UI beragam, tidak ada tekanan untuk berpakaian sesuai dengan stereotip FIB UI di dalam FIB UI itu sendiri karena sebenarnya, kembali pada bahasan di awal, mahasiswa bebas untuk berekspresi semau mereka melalui pakaian. Rapha, seorang mahasiswa Filsafat UI, sadar dan mengerti bahwa realitanya tidak ada keharusan bagi seorang mahasiswa FIB UI untuk terlihat “santai” seperti yang dikatakan orang lain dan tidak ada pula larangan untuk tampil formal.

Di luar itu semua, tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataannya kultur ini juga melahirkan beberapa dampak negatif yang bisa saja dirasakan oleh mahasiswa FIB UI. Tidak jarang mahasiswa mendapatkan prejudice dan prasangka buruk dari orang luar. Dengan stereotip yang melekat akan gaya berpakaiannya, mahasiswa FIB UI sering menjadi buah bibir bagi mahasiswa lainnya karena dianggap melanggar norma dan tidak menunjukan identitas mereka sebagai mahasiswa secara umum.

Reporter:

Shalihuddin Taufiqurrahman
Autri Charlotte A.

Fotografer:

Kemas Muhammad

--

--

Makara in Style
Makara in Style

Written by Makara in Style

0 Followers

Berbusana Bermakna Berbudaya

No responses yet